PENDAHULUAN
Telah
kita ketahui bersama, bahwa filsafat merupakan hasil pemikiran oleh para ahli
filsafat yang mana setiap ahli filsafat mempunyai hasil pemikiran yang
berbeda-beda. Kadang ada pemikiran dari para ahli filsafat yang saling menguatkan dan ada
juga yang saling berlawanan. Hal ini disebabkan oleh berbagai factor, misalnya
factor setting social dan budaya masing-masing daerah para ahli filsafat
(filosof) yang berbeda.
Begitu juga dunia filsafat pendidikan, selama
perkembangannya muncul berbagai penilaian yang akhirnya menjadi suatu aliran
yang memberikan pijakan dasar bagi terbentuknya suatu lembaga pendidikan di
suatu Negara.
Dalam filsafat terdapat berbagai madzhab, aliran-aliran,
seperti materialisasi, idealisme, realisasi, pragmatisme, dan lain-lain. Karena
filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat
beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan
berbagai aliran. Di antaranya progressivisme, esensialisme, perenalisme, dan
rekontruksionisme.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai aliran-aliran ini
dalam makalah ini akan disajikan. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua amin….
PEMBAHASAN
A. Progressivisme
Progressivisme berkembang dalam permulaan abad 20 ini terutama di Amerika
Serikat. Progressivisme lahir sebagai perubahan dalam dunia (filsafat)
pendidikan terutama sebagai lawan terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan
konvensional yang diwarisi dari abad ke sembilan belas.
Progressivisme menganggap pendidikan sebagai cultural transition. Ini
berarti bahwa pendidikan dianggap mampu merubah dalam arti membina kebudayaan
baru yang dapat menyelamatkan manusia bagi hari depan yang makin kompleks dan
menantang. Karena pendidikan adalah lembaga yang mampu membina manusia untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan cultural dan tantangan-tantangan
zaman, demi survive-nya manusia.
Progressivisme mempunyai cirri utama, yakni mempercayai manusia sebagai
subyek yang memiliki kemampuan untuk menghadapi dunia dan lingkungan hidupnya
yang multi kompleks dengan skill dan kekuatan sendiri. Dan dalam makna ini,
maka liberal mempunyai arti menghormati martabat manusia, menghormati harga
manusia sebagai subyek di dalam hidupnya. Dalam arti demokrasi
pandangan-pandangan Progressivisme merupakan cara berpikir liberal, yang
memberi kemungkinan dan prasyarat bagi perkembangan tiap pribadi manusia
sebagaimana potensi yang ada padanya.
Sebagai cirri utama lain progressivisme adalah suatu filsafat transisi
antara dua konfigurasi kebudayaan yang besar. Progressivisme
adalah rasionalisasi mayor dari pada suatu kebudayaan, yakni:
- Perubahan
yang cepat dari pola-pola kebudayaan barat yang diwarisi dan dicapai dari
masa silam.
- perubahan
yang tepat menuju pola-pola kebudayaan baru yang sedang dalam proses
pembinaan untuk masa depan.[1]
Biasanya aliran Progressivisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup
liberal. “The Liberal road to culture” yang
dimaksudkan dengan ini adalah pandangan hidup yang mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut: fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat
oleh sesuatu doktrin tertentu), carious (ingin mengetahui, ingin menyelidiki)
tolerant dan open minded (mempunyai hati terbuka).[2]
- Latar belakang aliran Progressivisme
Progressivisme
sebagai ajaran filsafat mempunyai watak yang dapat digolongkan sebagai:
1.
Negatif and diagnostic yang
berarti bersikap anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam segala
bentuk baik yang kuno maupun yang modern, yang meliputi semua bidang kehidupan
terutama agama, moral, social, politik, ilmu pengetahuan.
2.
Positive and remedial, yakni
suatu pernyataan dan kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subyek yang
memiliki potensi-potensi alamiah, terutama kekuatan-kekuatan self regenerative
untuk menghadapi dan mengatasi semua problem hidupnya.
Progressivisme disebut juga dengan nama yang berbeda-beda seperti
pragmatisme, instrumentalisme, experimentalisme, dan enviromentalisme.
Masing-masing istilah penamaan itu merupakan wujud ide asasi yang menjadi
wataknya. Progerssivisme, karena aliran ini mengakui dan berusaha mengembangkan
asas progresivitas dalam semua realita, terutama dalam diri manusia sebagai
subyek.
Latar belakang ide-ide filsafat yunani, baik Heraclites maupun Socrates,
bahkan juga protagoras amat mempengaruhi aliran ini. Ide Heraclites tentang perubahan “all reality is
characterized by constant change, that nothing is permanent except the
principle of change it self”, adalah menjadi asas progressivisme.
Ide Socrates yang menyatukan nilai ilmu pengetahuan dengan prinsip-prinsip
moral juga dianggap berpengaruh atas progerssivisme. Sedangkan protagoras
menyatakan bahwa kebenaran dan nilai-nilai bersifat relative menurut waktu dan
tempat, bahkan menurut subjek (manusia) adalah peletak pandangan Progressivisme
tentang nilai.
Disamping pengaruh-pengaruh tokoh filsafat di atas ada pula pengaruh
kebudayaan yang secara khusus ditulis oleh Brameld sebagai tiga factor kebudayaan
yang berpengaruh atas perkembangan progressivisme.
1. Revolusi
industri
2. Modern science
- Pandangan ontology, Progressivisme
1.
Asas
Hereby atau asas kebudayaan
Dunia adalah proses/tata dimana manusia hidup di dalamnya. Istilah dunia
ini dapat dianggap sinonim dengan kosmos, realita, dan alam.[4]
2.
Pengalaman
sebagai realita
Pengalaman yang
mengandung sifat-sifat;
a. Pengalaman itu
dinamis
b. Pengalaman itu
temporal
c. Pengalaman itu
spatial
d. Pengalaman itu
pluralitas
3.
Pikiran (mind) sebagai fungsi
manusia yang unik
Menurut Progressivisme potensi intelegensi ini meliputi kemampuan,
mengingat, imajinasi, menghubung-hubungkan, merumuskan, melambangkan dan
memecahkan persoalan-persoalan serta berkomunikasi dengan sesamanya. Bahkan
eksistensi dari realita mind hanyalah di dalam aktivitas, dalam tingkah laku. Mind pada prinsipnya adalah yang berperan di dalam
pengalaman.
- Pandangan epistemology Progressivisme
1.
Pengetahuan
dan kebenaran
Kebenaran ialah
kemampuan suatu ide memecahkan suatu problem. Oleh karena itu, kebenaran ialah
konsekuensi-konsekuensi dari pada suatu ide, realita pengetahuan, daya guna
dalam hidup.
2.
Pengetahuan
itu bersifat pasif
Pengetahuan ialah perbendaharaan informasi, fakta,
hukum-hukum, prinsip-prinsip, proses kebiasaan-kebiasaan yang terakumulasi di
dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi dan pengalaman-pengalaman.
3.
Kebenaran
bersifat aktif
Kebenaran ialah hasil tertentu daripada pengetahuan,
hasil pemilihan alternatif-alternatif dalam proses pemecahan masalah.
4.
Intelegensi
dan operasionalisme
Intelegensi dan
metode operasional adalah ciri utama dalam epistimologi progressivisme.
5.
Immediate
dan mediate experience
-
Immediate experience, kita
menghayati pengalaman ini dalam kesadaran keseimbangan.
-
Mediate experience. Pengertian
mediate yakni subyek segera menjembatani (menjadi perantara) antara dua:
kehilangan keseimbangan dan adanya keseimbangan.
Progressivisme juga menekankan bahwa janganlah kita mengira bahwa seseorang
berpikir hanya dalam rangka mengatasi persoalan karena ada masalah. Berpikir
demikian bersifat reaktif, tidak kreatif. Padahal orang juga berpikir di waktu
relaks, baik sebagai seniman yang mencari ilham maupun sebagai scientist atau
filosof yang merenung dengan tenang.
- Pandangan axiology Progressivisme
1.
Approach
empiris
A. Hubungan antara realita
dengan pengetahuan
B.
Nilai instrumental dan
nilai-nilai instrinsik
C. Nilai sosial dan nilai
individu
D. Perkembangan sebagai
nilai
2.
Approach
artistik
A. Nilai estetika
B. Ilmu pengetahuan dan
seni (science and art)
- Penilaian budaya atas
progressivisme
Dalam teori dan praktek pendidikan, progressivisme mendorong banyak pemikir
dan mempengaruhi kebudayaan dengan sistem organisasi dan sebagai aliran
eksperimental. Progressivisme sungguh-sungguh berorientasi pada pengalaman anak
sebagai “the whole child” dan membinanya dengan materi pelajaran yang tepat,
serta berdasarkan pada asas dan teori psikologi belajar melalui pengertian yang
operasional tentang minat, usaha, habit, growth, organisme, kebudayaan dan di
atas semua itu asas intelegensia.[5]
B.
Esensialisme
Esensialisme muncul pada zaman renaissans, dengan ciri-ciri utamanya yang
berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini terutama dalam memberikan dasar
berpijak mengenai pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana serba terbuka
untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.
Bagi esensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar pandangan itu mudah
goyah dan kurang terarah. Karena itu esensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama,
sehingga memberikan kestabilan dan arah yang jelas.
Esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan
realisme, sehingga aliran ini nampak lebih mantap dan kaya dengan ide-ide
dibanding jika hanya mengambil dari salah satu aliran atau posisi sepihak saja.
Atau pertemuan antara bersifat elektrik, yakni keduanya sebagai pendukung namun
tidak melebur diri menjadi satu, atau tidak melepaskan identitas atau ciri
masing-masing aliran.
Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan reaksi
terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan materialistic.
Selain itu juga diwarnai oleh pandangan-pandangan dari paham penganut aliran
idealisme dan realisme.[6]
Menurut aliran ini
“education as cultural conservation”, pendidikan sebagai pemelihara kebudayaan.
Karena dalil ini maka aliran esensialisme dianggap para ahli sebagai
“conservative roat to culture” yakni aliran ini ingin kembali kepada kebudayaan
lama, warisan sejarah yang telah membuktikan kebaikan-kebaikannya dalam
kehidupan manusia.
Esensialisme percaya
bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang mereka wariskan kepada kita hingga sekarang,
telah teruji oleh segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan demikian, ialah
essensia yang mampu pula mengemban hari kini dan masa depan manusia.[7]
A. Pola Dasar Pendidikan
Esensialisme
Uraian ini memberi
penjelasan tentang pola dasar pendidikan aliran esensialisme.
a.
Bahwa tidak semua teori
pendidikan esensialisme selalu langsung berasal dari filsafat esensialisme.
b.
Bahwa dengan demikian,
asas-asas filsafat esensialisme yang lengkap, tidak selalu harus diikuti dengan
pola-pola asasi atau pola dasar pendidikannya yang terperinci.
c.
Pola asasi pendidikan
esensialisme hanyalah berhubungan dengan teori dasar pendidikan, sebab
soal-soal praktek pendidikannya adalah masalah praktis yang disesuaikan dengan
kondisi yang insidental.
B. Tokoh-tokoh
Penyebar Aliran Esensialisme
Tokoh-tokoh yang
berperan dalam penyebaran aliran esensialisme diantaranya sebagai berikut:
-
Desiderius Erasmus, merupakan
tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain,
Erasmus berusaha agar kurikulum sekolah bersifat internasional, sehingga bisa
mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
-
Johann Amos Comenius,
berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan
kehendak Tuhan, karena pada hakekatnya dunia adalah dinamis dan bertujuan.
-
John Locke, berpendapat bahwa
pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-anak
miskin.
-
Johann
Henrich Pestalozzi. Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu
tercermin pada manusia, sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan
wajarnya. Selain
itu ia mempunyai keyakinan bahwa manusia juga mempunyai hubungan transedental
langsung dengan Tuhan.
-
William T. Harris, tugas
pendidikan baginya adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan
yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Kedudukan sekolah adalah sebagai
lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun
penyesuaian diri kepada masyarakat.[8]
- Prinsip-prinsip
pendidikan Esensialisme
1.
Belajar pada dasarnya
melibatkan kerja keras dan kadang-kadang dapat menimbulkan keseganan dan
menekankan pentingnya prinsip disiplin.
2.
Inisiatif dalam pendidikan
harus ditekankan pada pendidik (guru) bukan pada anak.
3.
Inti dari proses pendidikan
adalah asimilasi dari subyek materi yang telah ditentukan.
4.
Sekolah harus mempertahankan
metode-metode tradisional yang bertautan dengan disiplin mental.
5.
Tujuan akhir dari pendidikan
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, karena dianggap merupakan
tuntutan demokrasi yang nyata.[9]
- Pandangan
Ontologi Esensialisme
1)
Sintesa idealisme dan realisme
tentang hakekat realitas berarti esensialisme mengakui adanya realita obyektif
disamping konsep-konsep pre-determinasi, supernatural dan transcendental.
2)
Aliran ini dipengaruhi penemuan-penemuan
ilmu pengetahuan modern baik phisika maupun biologi.
3)
Penafsiran
spiritual atas sejarah
Teori filsafat
Hegel yang mengsintesakan science dengan religi dalam kosmologi berarti sebagai
interpretasi sejarah atas sejarah perkembangan realita semesta.
Walaupun Hegel
hidup lebih dulu dari Darwin, namun Hegel telah melihat adanya perjuangan semua
eksistensi dari semua realita. Hegel menekankan adanya proses perubahan yang
terus menerus dalam makna sejarah. Tetapi teori itu pada hakekatnya sama dengan
analisa tentang evolusi segala sesuatu.
4)
Faham
Makrokosmos dan Mikrokosmos
Makrokosmos adalah
keseluruhan semesta raya dalam suatu design dan kesatuan menurut teori
kosmologi.
Mikrokosmos adalah
bagian tunggal (individu tersendiri), suatu fakta yang terpisah dari
keseluruhan itu, baik pada tingkat umum, pribadi manusia ataupun lembaga.
- Pandangan
Epistimologi Esensialisme
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi tuhan adalah jalan untuk
mengerti epistimologi esensialisme. Sebab, jika manusia mampu menyebari realita
dirinya sebagai mikrokosmos maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat /
kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestaan itu. Dan berdasarkan
kualitas itulah dia memproduksi secara tepat pengetahuannya dalam bidang-bidang
ilmu alam, biologi, sosial, estetika, dan agama. Generalisasi di atas secara
keseluruhan adalah pelaksanaan asas pandangan idealisme dan realisme.
- Pandangan
Axiologi Esensialisme
Pandangan ontologi dan epistimologinya sangat mempengaruhi pandangan
axiology ini. Bagi aliran ini, nilai-nilai, seperti juga kebenaran berakar
dalam dan berasal dari sumber obyektif. Watak sumber ini dari mana nilai-nilai
berasal, tergantung pada pandangan-pandangan idealisme dan realisme, sebab
esensialisme terbina oleh kedua sayap tersebut.
C.
Perenialisme
A.
Latar
Belakang Perenialisme
Perennial merupakan
asal kata perenialisme, yang dalam oxford adyanced learner’s dictionary of
current English diartikan sebagai “cortinuing throughout the whole year” atau
“lasting for very longtime” yaitu abadi atau kekal. Secara maknawi aliran perenialisme
mengandung kepercayaan filsafat yang berpagang pada nilai-nilai dan norma yang
bersifat kekal dan abadi. Istilah perennial berarti terus tiada berakhir.
Pengertian ini dapat dianalogikan dengan bunga yang terus menerus mekar dari
musim ke musim. Dari gejala kehidupan bunga mekar dari musim ke musim ini
merupakan teras, karena merupakan gejala yang terus ada dan sama.[10]
Aliran perenialisme dianggap sebagai “regressive road to culture” yakni
jalan kembali, mundur kepada kebudayaan masa lampau. Perenialisme menghadapi
kenyataan dalam kebudayaan manusia sekarang, sebagai satu krisis kebudayaan
dalam kehidupan manusia modern. Untuk menghadapi situasi krisis itu,
perenialisme memberikan pemecahan dengan jalan kembali kepada kebudayaan masa
lampau.[11] Sikap ini bukanlah nostalgia
(rindu hal-hal yang sudah lampau saja) tetapi telah berdasarkan keyakinan.
B.
Pandangan
Ontologi Perenialisme
Perenialisme berpendapat bahwa apa yang dibutuhkan manusia terutama adalah
jaminan bahwa realita itu bersifat universal. Inilah jaminan yang dapat
dipenuhi dengan jalan mengerti wujud harmoni bentuk-bentuk realita, meskipun
tersembunyi dalam suatu wujud materi atau peristiwa yang berubah, ataupun di
dalam ide-ide yang berkembang.[12]
a.
Individual
Thing, Essence, Accident, Subtance
Benda individual
adalah benda sebagaimana nampak dihadapan manusia dan yang ditangkap dengan
panca indera. Esensi dari sesuatu adalah kualitas yang menjadikan atau yang
menyebabkan benda itu lebih instrinsik dari pada halnya. Aksiden adalah keadaan
khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibanding dengan
yang esensial. Kenyataan yang diketahui atau dihadapi oleh manusia mengenai
hal-hal tersebut tidaklah terlepas satu sama lain, tetapi seketika bersama-sama.
Kesatuan dari tiap-tiap yang berpasangan pada individu atau hal disebut
substansi.
b.
Asas
Teleologis
Perenialisme
mengembangkan bahwa realita itu bersifat teleology. Tiap realita sebagai
substansi selalu cenderung bergerak atau berkembang dari potensial menuju
aktualitas. Proses perkembangan
dari potensialitas menuju aktualitas ini disebut teleologis.[13]
c.
Asas
Supernatural
Manusia tidak akan
mungkin menyadari asas teleologis itu tanpa iman dan norma. Sesungguhnya semua
realita dalam semesta ini bersumber dan tergantung kepada realita supernatural
itu.
C.
Pandangan
Epistimologi Perenialisme
Perenialisme
berpangkal pada 3 istilah yang menjadi asas di dalam epistimologi, yaitu:
1.
Truth bagi Perenialisme ialah
prasyarat asas tahu untuk mengerti memahami arti realita semesta raya, jadi
kita tak mungkin memahami realita semesta raya tanpa melalui proses tahu.
Perenialisme mengakui bahwa impressi / kesan melalui pengamatan tentang
individual thing adalah pangkal pengertian tentang kebenaran. Sebab, kesadaran
tentang kebenaran pada hakekatnya adalah kesadaran tentang esensi yang ada di
dalam tiap realita.
2.
Self-evidence, merupakan asas
pembuktian tentang realita dan kebenaran sekaligus. Self-evidence adalah suatu
bukti yang ada pada diri (realita, eksistensi) itu sendiri, jadi bukti itu
tidak pada materi atau realita yang lain.
3.
Reasoning
(berpikir)
Pengertian tentang
kebenaran hanya mungkin diatas hukum berpikir, sebab pengertian logis misalnya
berasal dari hukum berpikir yang diajarkan Aristoteles yang terkenal ialah
silogisme, yang terbentuk atas hubungan logis antara premis mayor, premis minor
dan kesimpulan
D.
Pandangan
axiology Perenialisme
1.
Prinsip
Etika
Kodrat wujud manusia menentukan kodrat
tindakan-tindakannya, kodrat perwujudan seorang manusia ialah dari jiwanya,
pikirannya. Perwujudan seorang manusia ialah kekuatan potensial yang membimbing
menuju atau menjauhi Tuhan, dan keadaan yang ditentukan oleh kekuatan potensial
itu seseorang akan dipandang sebagai baik atau jahat.
2.
Tingkat-tingkat
Kebajikan
Aristoteles
membedakan 2 tingkat utama kebajikan, yaitu:
-
Kebajikan intelektual, yang
terbina melalui pendidikan-pengajaran.
-
Kebajikan moral yang terbina
melalui pembentukan kebiasaan.
3.
Prinsip-prinsip
Estetika
Keindahan adalah
nilai tertinggi dalam estetika. Realita keindahan, dihayati dan dinikmati
manusia secara langsung. Hakekat keindahan yang sesungguhnya ialah tuhan
sendiri. Fungsi keindahan dalam kehidupan manusia tidak hanya untuk dinikmati,
melainkan ada fungsi catharsis, yaitu yang dapat meningkatkan hidup manusia
dalam arti spiritual.[14]
E.
Pola
Pendidikan Perenialisme
Menurut Perenialisme, belajar adalah latihan mental dan disiplin jiwa.
Berhubung dengan itu, pandangan tentang belajar hendaklah berdasarkan atas
paham bahwa manusia itu pada hakekatnya rasionalistis. Adanya sifat rasional
itu berkembanglah pemikiran dasar tentang kebebasan.[15] Atas dasar tersebut, maka
tugas utama pendidik adalah menuntun / membimbing anak didik ke arah kemasakan,
masak dalam arti hidup akalnya.
Bimbingan ke arah kemasakan itu dimulai di sekolah dasar (rendah), yang
berfungsi sebagai persiapan dan memberikan pengetahuan dan latihan dasar.
Pendidikan menengah berfungsi untuk lebih meningkatkan program pendidikan umum.
Sedangkan tujuan pendidikan tinggi (dewasa) adalah meningkatkan pengetahuan
yang telah dimilikinya dalam pendidikan sebelum itu, menetralisir
pengaruh-pengaruh jelek yang ada. Nilai utama pendidikan secara filosofis ialah
mengembangkan sikap bijaksana, guna mampu mereorganisasi pendidikan
anak-anaknya dan membina kebudayaannya[16]
D.
Rekontruksionisme
A. Latar
belakang Aliran rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa inggris Reconstruct
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran
rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama
dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.[17]
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme sepaham dengan
aliran perenialisme bahwa ada kebutuhan anak mendesak untuk kejelasan dan
kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang (hendak menyatakan krisis
kebudayaan modern), yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan
kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara dan
jalan pemecahan yang ditempuh filsafat perenialisme. Aliran perenialisme
memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling luas dan paling
mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.[18]
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme
berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat
mengatur tata hidup manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya,
maka melalui lembaga dan proses pendidikan. Rekonstruksionisme ingin merombak
tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali
baru.[19]
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan
progresivme, gerakan ini lahir didasari atas suatu anggapan bahwa kaum
progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah
masyarakat yang ada pada saat sekarang ini.
Rekonstrusionisme di pelopori oleh George Count dan
Harold Rugg pada tahun 1930 yang ingin membangun masyarakat baru, masyarakat
yang pantas dan adil. tokoh- tokoh aliran rekonstruksionisme yaitu Caroline
pratt, George count, dan Harold rugg.[20]
Usaha rekonstruksionisme sosial yang diupayakan Brammeld
didasarkan atas suatu asumsi bahwa kita telah beralih dari masyarakat agraris
pedesaan ke masyarakat urban yang berteknologi tinggi namun masih terdapat
suatu kelambatan budaya yang serius yaitu dalam kemampuan manusia menyesuaikan
diri terhadap masyarakat teknologi. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Count
bahwa apa yang diperlukan pada masyarakat yang memiliki perkembangan teknologi
yang cepat adalah rekonstruksi masyarakat dan pembentukan serta perubahan tata
dunia baru.[21]
B. Pandangan rekonstruksionisme dan penerapannya di bidang pendidikan
Aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu
bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara
demokratis dan bukan dunia yang dikuasasi oleh golongan tertentu. sila-sila
demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan
sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu
meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan
masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturuanan, nasionalisme, agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.[22]
George counts sebagai pelopor rekonstruksionisme dalam
publikasinya Dare the school build a new sosial order mengemukakan
bahwa sekolah akan betul- betul berperan apabila
sekolah menjadi pusat bangunan masyarakat baru secara keseluruhan, dan kesukuan
(rasialisme). masyarakat yang menderita kesulitan ekonomi dan masalah-masalah
sosial yang besar merupakan tantangan bagi pendidikan untuk menjalankan
perannya sebagai agen pembaharu dan rekonstruksi sosial dari pada pendidikan
hanya mempertahankan status qua dengan ketidaksamaan-ketidaksamaan dan
masalah-masalah yang terpendam di dalamnya.
Sekolah harus bersatu dengan kekuatan buruh progresif,
wanita, para petani, dan kelompok minoritas untuk mengadakan
perubahan-perubahan yang diperlukan. Counts mengkritik pendidikan progresif
telah gagal menghasilkan teori kesejahteraan sosial dan mengatakan sekolah
dengan pendekatan child centered tidak cocok untuk menentukan pengetahuan dan
skill sesuai dalam abad dua puluh.[23]
C. Teori Pendidikan
Rekonstruksionisme
a. Tujuan Pendidikan
1. Sekolah-sekolah rekonstruksionis berfungsi sebagai lembaga
utama untuk melakukan perubahan sosial, ekonomi dan politik dalam masyarakat.
2. Tugas sekolah-sekolah rekonstruksionis adalah
mengembangkan ”insinyur-insinyur” sosial, warga-warga negara yang mempunyai
tujuan mengubah secara radikal wajah masyarakat masa kini.
3. Tujuan pendidikan rekonstruksionis adalah membangkitkan
kesadaran para peserta didik tentang masalah sosial, ekonomi dan politik yang
dihadapi umat manusia dalam skala global, dan mengajarkan kepada mereka
keterampilan-keterampilan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut.
b. Metode pendidikan
Analisis kritis terhadap kerusakan-kerusakan masyarakat
dan kebutuhan-kebutuhan programatik untuk perbaikan. Dengan demikian
menggunakan metode pemecahan masalah, analisis kebutuhan, dan penyusunan
program aksi perbaikan masyarakat.
c. Kurikulum
Kurikulum berisi mata-mata pelajaran yang berorientasi
pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa depan.
Kurikulum banyak berisi masalah-masalah sosial, ekonomi,
dan politik yang dihadapi umat manusi, yang termasuk di dalamnya
masalah-masalah pribadi para peserta didik sendiri; dan program-program
perbaikan yang ditentukan secara ilmiah untuk aksi kolektif.
Struktur organisasi kurikulum terbentuk dari
cabang-cabang ilmu sosial dan proses-proses penyelidikan ilmiah sebagai metode
pemecahan masalah.
d. Pelajar
Siswa
adalah generasi muda yang sedang tumbuh menjadi manusia pembangun masyarakat
masa depan, dan perlu berlatih keras untuk menjadi insinyur-insinyur sosial
yang diperlukan untuk membangun masyarakat masa depan.
e. Pengajar
Guru harus
membuat para peserta didik menyadari masalah-masalah yang dihadapi umat
manusia, mambatu mereka merasa mengenali masalah-masalah tersebut sehingga
mereka merasa terikat untuk memecahkannya.
Guru harus terampil dalam membantu peserta didik
menghadapi kontroversi dan perubahan. Guru harus menumbuhkan berpikir
berbeda-beda sebaga suatu cara untuk menciptakan alternatif-alternatif
pemecahan masalah yang menjanjikan keberhasilannya.[24]
Menurut Brameld (kneller,1971) teori pendidikan rekonstruksionisme
ada 5 yaitu:
a. Pendidikan harus di laksanakan di sini dan sekarang dalam
rangka menciptakan tata sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya
kita, dan selaras dengan yang mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial
masyarakat modern.
b. Masyarakat baru harus berada dalam kehidupan demokrasi
sejati dimana sumber dan lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh warganya
sendiri.
c. anak, sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan
oleh kekuatan budaya dan sosial.
d. Guru harus menyakini terhadap validitas dan urgensi
dirinnya dengan cara bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang
demokratis
e. Cara dan tujuan pendidikan harus diubah kembali
seluruhnya dengan tujuan untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan
dengan krisis budaya dewasa ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains
sosial yang mendorong kita untuk menemukan nilali-nilai dimana manusia percaya
atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat universal.
f. meninjau kembali penyusunan kurikulum, isi pelajaran,
metode yang dipakai, struktur administrasi, dan cara bagaimana guru dilatih.[25]
DAFTAR PUSTAKA
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan.Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002
Mudyarhardjo Redja, Pengantar Pendidikan, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004
Syam Muhammad Noor, Filsafat Penidikan dan Dasar Filfasat
Kependidikan Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional, 1986
Sadulloh, Uyoh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung :
Alfabeta 2003
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi
Aksara, 2004
http:// neneng- halimah-
unindra2b.blogspot.com/2008/6/filsafat pendidikan.html
http:// fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran
rekonstruksionisme.html
Burhanudin Salam, Pengantar Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu
Mrndidik), Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan, Andi Offset,
Yogyakarta, 1994
Noor Syam, Muhammad, 1986. Filsafat Pendidikan dan Dasar
Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional.
Syadzali, Ahmad, dkk, 1997. Filsafat Umum, Bandung:
Pustaka Setia.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan: Sistem dan Metode,
Andi Offset, Yogyakarta, 1997.
[1] M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan
Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986, hal.
225-228
[2] Dra. Zuhairini, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hal 20-21
[3] M. Noor
Syam, Op. Cit, hal. 230-232
[4] Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan:
Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 1997, hal.29
[5] M. Noor
Syam, Op. Cit, hal. 233-258
[6] Dra. Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan
Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm.25
[7] M. Noor
Syam, Op. Cit, hal. 260
[8] Dra. Zuhairini, Opcit
[9] Drs. H. Burhanudin Salam, Pengantar
Pedagogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik), Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hlm.58-59
[10] Prof. Imam Barnadib, M. A. Ph. D,
Filsafat Pendidikan Sistem dan metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1998, hal.5960
[11] M. Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan
Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986, hal
295-296
[12] Ibid,
hal. 306
[13] M. Noor
Syam, Op. cit, hal. 308
[14] Ibid,
hal.315-319
[15] Prof.
Imam Barnadib, Op. Cit, hal 84
[16] M. Noor
Syam, Op. cit, hal. 333
[17] Jalaluddin, abdullah, idi, filsafat
pendidikan, jakarta: gaya media pratama, 2002,
hlm. 97
hlm. 97
[18] M. Noor
Syam, Op. cit, hal. 340-341
[19] Zihairini, filsafat pendidikan islam,
jakarta: bumi aksara, 2004, hlm. 29
[20] http:// fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran
rekonstruksionisme.html
[21] Uyoh sadullah, pengantar filsafat
pendidikan, bandung: alfabeta, 2003, hlm. 167-168
[22] http:// neneng- halimah-
unindra2b.blogspot.com/2008/6/filsafat pendidikan.html
[23] Uyoh sadullah, Op. Cit, hlm. 168-169
[24] Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 156-157
0 comments:
Post a Comment