BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang
masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin
ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan
merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani
dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara
umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya.
Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran
pemikiran, yakni empirisme, rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal
dan pengalaman pribadi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Epistimologi
Bayani.
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan
atas otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung Secara
langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan
berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.1
Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash), yakni al-Qur`an
dan hadis.2 Karena
itulah, epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan
teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke
generasi.Ini penting bagi bayani, karena – sebagai sumber
pengetahuan-- benar tidaknya transmisi teks menentukan
benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi
teks bisa di pertanggung-jawabkan berarti teks tersebut benar
dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggung jawabkan
dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena
itu pula, mengapa pada masa tadwin (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadis, para
ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima.
Berdasarkan hal tersebut, bahwa bayani berkaitan dengan teks, maka
persoalan pokoknya adalah sekitar lafadz,makna dan ushul
furu`nya. Misalnya, apakah suatu teks dimaknai sesuai
konteksnya atau makna aslinya (tauqif), bagaimana
menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak disinggung dalam teks suci, bagaimana memaknai istilah-istilah khusus dalam nama - nama, seperti kata shalat, shiyam,
zakat.3
Selanjutnya, untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode bayani menempuh dua jalan.Pertama, berpegang pada redaksi (lafadz) teks, dengan
menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf.Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan
logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa.4
Pada jalan yang kedua, penggunaan logika dilakukan dengan empat macam
cara;yaitu;
-pertama, berpegang pada tujuan pokok(al- maqashid al-dlaruriyah) yang mencakup lima kepentingan vital,
yakni menjaga keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta. Caranya dengan menggunakan induksi tematis (al-istiqra’ al-ma`wi) dan
disitulah tempat penalaran rasional.5
-kedua,
berpegang pada illah teks. Untuk menemukan dan mengetahui adanya illah suatu teks ini digunakan sebuah sarana
yang memerlukan penalaran yang disebut ‘jalan illah’(masalikul-
illah) yang terdiri atas tiga hal;
(1) illat yang telah ditetapkan oleh nash, seperti illat tentang kewajiban mengambil 20% harta rampasan
untuk fakir miskin agar harta tersebut tidak beredar dikalangan
orang kaya saja (QS. Al-Hasyr, 7).
(2) illah yang
telah disepakati oleh para mujtahid, misalnya illah
menguasai harta anak yang masih kecil adalah karena
kecilnya.
(3) al-Sibr wat–taqsim (trial) dengan
cara merangkum sifat-sifat baik untuk dijadikan illat
pada asal (nash), kemudian illat itu dikembalikan kepada
sifat-sifat tersebut agar bisa dikatakan bahwa illah itu
bersifat begitu atau begini. Cara kedua ini lebih lanjut
memunculkan metode qiyas (analogi)
istihsan, yakni beralih dari
sesuatu yang jelas kepada sesuatu yang masih samar,
karena adanya alasan yang kuat untuk pengalihan itu.
-ketiga, berpegang pada tujuan
sekunder teks.Tujuan sekunder adalah tujuan yang mendukung terlaksananya tujuan pokok. Misalnya, tujuan pokok adalah memberikan pemahaman materi kuliah pada mahasiswa, tujuan sekunder memberikan tugas.
Adanya tugas akan mendukung pemahaman kuliah yang diberikan.
Sarana yang digunakan untuk menemukan tujuan sekunder teks
adalah istidlal,
yakni mencari dalil dari luar teks, berbeda dengan istimbat yang berarti mencari dalil pada teks.
-keempat,
berpegang pada diamnya Syari` (Allah dan Rasul saw). Ini untuk masalah-masalah yang sama sekali
tidak ada ketetapannya dalam teks dan tidak bisa dilakukan
dengan cara qiyas. Caranya dengan kembali pada hukum
pokok (asal) yang telah diketahui. Misalnya, hukum asal
muamalah adalah boleh (al-ashlu fil mu`amalah
al-ibahah), maka jual beli lewat internet yang tidak ada ketentuannya berarti boleh, tinggal bagaimana mengemasnya agar tidak dilarang. Metode ini melahirkan teori istishab, yakni menetapkan
sesuatu berdasar keadaan yang berlaku sebelumnya selama
tidak ditemui dasar/ dalil yang menunjukkan perubahannya.
B.Epistemologi
Irfani.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf,
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena
itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa
teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati,
diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya.
Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada
orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan,yaitu;
a.persiapan
b.penerimaan
c. pengungkapan, dengan lisan
atau tulisan.
a.Tahap pertama, persiapan
Untuk bisa menerima
limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan
spiritual. Setidaknya, ada tujuh tahapan yang harus dijalani,
mulai dari bawah menuju puncak.Tahapan itu adalah;
1.Taubat
2.Wa
ra `, menjauhkan diri dari
segala sesuatu yangsubhat,
3.Zuhud,
tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia
4.Faqir,
mengosongkan seluruh fikiran dan harapan masa depan, dan tidak
menghendaki apapun
kecuali Tuhan swt
5.Sabar,
menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela
6.Tawakkal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya
7.Ridla,
hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang
tersisa hanya gembira dan sukacita..
b. Tahap selanjutnya
adalah penerimaan
Jika telah
mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini
seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian
mutlak (kasyf),
sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas
dirinya sendiri (musyahadah)
sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran
dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan
sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang
sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran
yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad)yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut
‘ilmu huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge)
c.Tahap terakhir, pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang
lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan
representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks
kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan,
sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman
ini bisa diungkapkan.
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf
tersebut diungkapkan?Pertama,
diungkapkan dengan caraI`tibar atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang
ditangkap dalam kasyf kepada makna
dhahir yang ada dalam teks.Kedua, diungkapkan
lewat syathahat, suatu ungkapan
lisan tentang perasaan (al-wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung dari
sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan
‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M).Karena itu, syathahat menjadi tidak
beraturan dan diluar kesadaran.
C.Epistemologi
Burhani.
Berbeda dengan bayani dan
irfani yang masih berkaitan
dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri
pada teks. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio,
akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.
Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani
menghasilkan pengetahuan lewat analogi furu` kepada yang
asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses
penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan
melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya
yang telah diyakini kebenarannya.Dengan demikian, sumber
pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme.Mengikuti Aristoteles, penarikan kesimpulan dengan silogisme ini harus memenuhi beberapa
syarat :
(1)
mengetahui latar belakang dari penyusunan premis,
(3)
kesimpulan yang diambil harus bersifat pasti dan benar, sehingga
tidak mungkin menimbulkan kebenaran atau kepastian lain.
Al-Farabi mempersyaratkan bahwa premis-premis burhani harus merupakan premis-premis yang benar, primer dan diperlukan.
Premis yang benar adalah premis yang memberi keyakinan, menyakinkan.Suatu premis bisa dianggap menyakinkan bila memenuhi tiga syarat;
(1) kepercayaan bahwa sesuatu (premis) itu berada
atau tidak dalam kondisi spesifik,
(2) kepercayaan bahwa sesuatu itu tidak mungkin
merupakan sesuatu yang lain selain darinya,
(3) kepercayaan bahwa kepercayaan kedua tidak mungkin sebaliknya. Selain itu, burhani bisa juga menggunakan sebagian dari jenis-jenis pengetahuan indera, dengan syarat bahwa objek-
objek pengetahuan indera tersebut harus senantiasa sama (konstan) saat diamati, dimanapun dan kapanpun, dan tidak ada yang menyimpulkan sebaliknya.
PENUTUP
] Tiga epistemologi Islam ini mempunyai
‘basis’ dan karakter yang berbeda. Pengetahuan bayani
didasarkan atas teks suci, irfani pada intuisi sedang
burhani pada rasio. Masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Untuk bayani, karena hanya mendasarkan diri
pada teks, ia menjadi terfokus pada hal-hal yang bersifat
aksidental bukan substansial, sehingga kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begitu cepat. Kenyataannya, pemikiran Islam saat ini yang masih
banyak didominasi pemikiran bayani fiqhiyah kurang bisa merespon
dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia. Tentang burhani, ia tidak mampu mengungkap seluruh kebenaran dan realitas yang mendasari semesta. Misalnya, burhani tidak mampu menjelaskan seluruh eksistensi diluar pikiran seperti soal warna,
bau, rasa atau bayangan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakar,
Osman, Hierarki Ilmu, terj. Purwanto, Bandung , Mizan, 1997.
Tauhid dan Sains , Bandung , Pustaka Hidayah, 1996.
Buthi,
Dlawâbith al-Mashlahah fî al-Syarî`at al-Islâmiyah, Beirut , Muassasat, tt.
Ibn
Rusyd,
Fashl al-Maqâl Fîmâ Bain al-Hikmah wa al-Syarîah min al-
Ittishâl,
edit. M. Imarah, Mesir, Dar al-Ma`arif, tt.
Jabiri,
Bunyah al-Aql al-Arabi, Beirut ,
al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi,1991
0 comments:
Post a Comment